Menambah penghasilan pada satu sisi, kemudian mengurangi pengeluaran pada sisi lain merupakan langkah menuju kesejahteraan ekonomi. Apabila hal itu dikaitkan dengan langkah menyesejahterakan guru di Indonesia, menambah penghasilan adalah urusan pemerintah daerah/pusat. Sedangkan mengurangi pengeluaran adalah urusan masing-masing guru, serta masyarakat yang menaruh simpati dan empati terhadap kehidupan guru.
Pada beberapa tahun terakhir ini, peran pemerintah terhadap guru, khususnya guru pegawai negeri sipil (PNS) sudah cukup baik. Bahkan sangat baik, terutama bagi guru PNS di pemerintah daerah yang APBD-nya tinggi seperti Pemerintah Provinsi DKI. Guru PNS selain bergaji cukup, mereka juga menerima tunjangan sertifiksi dan lain sebagainya. Pendek kata, guru PNS cukup sejahtera.
Namun, bagaimana dengan guru non-PNS alias guru honorer dan guru di sekolah swasta kecil? Tentu saja guru honorer dan swasta kecil tidak seberuntung guru PNS, karena mereka tidak menikmati gaji sebesar guru PNS. Begitu pula dengan tunjangan lainnya, seperti tunjangan sertifikasi, tidak semua guru menerimanya. Ada pula guru honorer yang hanya menerima honor Rp 200.000 hingga Rp 300.000 setiap bulan. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) di daerah manapun di Indonesia. Padahal mereka bekerja penuh waktu dan memiliki tanggung jawab sama dengan guru PNS.
Ketimpangan kesejahteraan guru PNS dan honorer seperti itu juga disampaikan oleh guru berprestasi 2014. Sebut saja Evi Sulistyaningsih, guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 4 Berau, Kalimantan Timur, yang merasakan bahwa peran pemerintah terhadap guru PNS sudah lebih baik, apalagi ditambah adanya tunjangan sertifikasi. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh guru honor, yang menurutnya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Pekerjaan mereka sama dengan guru PNS, namun honor mereka jauh dari layak. Untuk itu, diharapkan agar pemerintah memerhatikan nasib guru honor, setidaknya ada upah minimum bagi mereka.
Harapan seperti yang dikemukakan oleh seorang guru dari Berau itu boleh jadi merupakan harapan semua guru, baik yang berstatus PNS maupun honorer. Sangat mudah menemukan fakta bahwa di satu sekolah guru PNS dan honorer memiliki beban sama, namun pendapatan yang diterima jauh berbeda. Hal ini yang menjadikan guru PNS terkadang merasa “berdosa” dengan rekan sepenanggungannya.
Memang harus diakui, mengurai masalah guru hononer atau swasta kecil tidaklah mudah karena menyangkut para pihak. Diperlukan keseriusan dan komitmen tinggi untuk menyelesaikan masalah itu.
Penyelesaian masalah yang berhubungan dengan guru honorer bergantung pada pemda dan pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud. Tentu saja “bola” ada di tangan pemda, karena tanggung jawabnya terkait anggaran untuk guru honorer lebih besar. Sehingga besaran anggaran yang disediakan pemda mempengaruhi honor yang diterima guru honorer. Semakin tinggi APBD-nya, secara teori akan semakin sejahtera pula guru-gurunya. Jadi, jumlah pendapatan maupun honor yang diterima guru di satu daerah dan daerah lain boleh jadi tidaklah sama.
Kita berharap kedua belah pihak (pemda dan Kemendikbud) dapat menjalin kerja sama secara baik, sehingga persoalan pendidikan, termasuk yang berhubungan dengan guru honorer, dapat diselesaikan secara baik pula.
Bagaimana pun, guru honorer merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah upaya mencerdaskan anak bangsa. Mereka, para guru honorer itu, juga tak dapat dipisahkan dari gerakan nasional yang bernama ‘Revolusi Mental’ yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Gerakan ini tentu menempatkan guru pada posisi strategis dalam revolusi mental di bidang pendidikan. (*)
Sumber : darisini
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment